Oleh
Nia Dwi Yuliati
Hipertensi merupakan salah satu
masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan dan dapat
menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen kehamilan. Hipertensi pada
kehamilan dapat menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang
eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal
akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta
morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim,
kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat
melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada
kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu.
Hipertensi pada kehamilan dapat
diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu:
1. Hipertensi kronik: hipertensi
(tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg yang diukur setelah beristirahat selama
5-10 menit dalam posisi duduk) yang telah didiagnosis sebelum kehamilan terjadi
atau hipertensi yang timbul sebelum mencapai usia kehamilan 20 minggu.
2. Preeklamsia-Eklamsia: peningkatan
tekanan darah yang baru timbul setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu,
disertai dengan penambahan berat badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak
dan pada pemeriksaan laboratorium dijumpai protein di dalam air seni
(proteinuria). Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang.
3. Preeklamsia superimposed pada
hipertensi kronik: preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah
menderita hipertensi sebelum hamil.
4. Hipertensi gestasional: hipertensi
pada kehamilan yang timbul pada trimester akhir kehamilan, namun tanpa disertai
gejala dan tanda preeklamsia, bersifat sementara dan tekanan darah kembali
normal setelah melahirkan (postpartum). Hipertensi gestasional berkaitan dengan
timbulnya hipertensi kronik suatu saat di masa yang akan datang.
Preeklamsia terjadi pada kurang
lebih 5% dari seluruh kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama, dan 20-25%
pada perempuan hamil dengan riwayat hipertensi kronik sebelum hamil. Faktor
risiko ibu untuk terjadinya preeklamsia antara lain meliputi kehamilan pertama,
pasangan/ paternitas baru, usia lebih muda dari 18 tahun atau lebih tua dari 35
tahun, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga dengan
preeklamsia, obesitas/ kegemukan, dan selang waktu jarak antar kehamilan kurang
dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun.
Dasar penyebab preeklamsia diduga
adalah gangguan pada fungsi endotel pembuluh darah (sel pelapis bagian dalam
pembuluh darah) yang menimbulkan vasospasme pembuluh darah (kontraksi otot
pembuluh darah yang menyebabkan diameter lumen pembuluh darah mengecil/
menciut). Perubahan respons imun ibu terhadap janin/ jaringan plasenta
(ari-ari) diduga juga berperan pada terjadinya preeklamsia. Kerusakan endotel
tidak hanya menimbulkan mikrotrombosis difus plasenta (sumbatan pembuluh darah
plasenta) yang menyebabkan plasenta berkembang abnormal atau rusak, tapi juga
menimbulkan gangguan fungsi berbagai organ tubuh dan kebocoran pembuluh darah
kapiler yang bermanifestasi pada ibu dengan bertambahnya berat badan ibu secara
cepat, bengkak (perburukan mendadak bengkak pada kedua tungkai, bengkak pada
tangan dan wajah), edema paru, dan/ atau hemokonsentrasi (kadar hemoglobin/ Hb
lebih dari 13 g/dL). Plasenta yang tidak normal akibat mikrotrombosis difus,
akan menurunkan aliran darah dari rahim ke plasenta. Hal tersebut akan
memengaruhi kehidupan janin dan bermanifestasi secara klinis dalam bentuk
pertumbuhan janin terhambat di dalam kandungan/ rahim dan oligohidramnion
(cairan ketuban sedikit).
Berdasarkan hal-hal yang telah
dijelaskan di dalam tulisan di atas, pemeriksaan kehamilan secara berkala
sangat penting pada semua ibu hamil untuk mendeteksi adanya hipertensi pada
kehamilan sehingga dapat diberikan tatalaksana yang tepat. Lebih lanjut,
perempuan yang menderita hipertensi pada kehamilan memerlukan tindak lanjut medis
atau dimonitor kondisi medisnya setelah melahirkan.